Tangerang Selatan, Mitrapubliknews.com - Penambangan adalah aktivitas yang memanfaatkan kekayaan mineral yang ada di bumi, termasuk logam berharga seperti emas, batu bara, dan nikel. Nikel, khususnya, sangat dibutuhkan dalam sektor industri saat ini, seperti dalam produksi baterai untuk kendaraan listrik dan stainless steel. Sayangnya, kegiatan penambangan nikel sering kali berdampak negatif bagi ekosistem, terutama jika dilaksanakan tanpa mengacu pada keberlanjutan dan regulasi yang ada. Situasi ini menjadi sorotan publik di Raja Ampat, Papua Barat, yang dikenal sebagai "surga terakhir di bumi" karena keindahan bawah laut dan biodiversitasnya yang luar biasa.
Baru-baru ini, penambangan nikel yang dilakukan oleh perusahaan seperti PT Anugerah Tambang Smelter (ATS) memicu perhatian masyarakat. Perusahaan ini diduga melakukan aktivitas tambang di area yang sensitif dari segi ekologi dan memiliki nilai konservasi yang tinggi. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran besar karena dapat merusak ekosistem laut dan hutan tropis yang menjadi habitat berbagai spesies endemik. Selain itu, kegiatan tersebut juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat yang telah lama bergantung pada sumber daya alam tersebut.
Lebih dari sekadar masalah lingkungan, praktik penambangan di Raja Ampat juga diduga tidak mematuhi beberapa peraturan hukum di Indonesia. Contohnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menggarisbawahi bahwa semua kegiatan yang berdampak signifikan terhadap lingkungan harus memiliki izin lingkungan dan melewati proses AMDAL yang transparan dan partisipatif. Namun, proses AMDAL dalam kasus ini dipertanyakan kejelasannya dan berujung pada penolakan dari masyarakat sekitar.
Di samping itu, penambangan di kawasan hutan lindung tanpa izin resmi juga melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Karena Raja Ampat adalah bagian dari kawasan konservasi darat dan laut, aktivitas ini berpotensi melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990 terkait Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Menyikapi kenyataan ini, kita sebagai mahasiswa tidak hanya diam saja. Kita memiliki tanggung jawab penting untuk menyuarakan ketidakadilan dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Kita dapat memulai dengan mendalami studi akademis mengenai dampak sosial dan ekologis dari penambangan di Raja Ampat, lalu menyebarkan informasi tersebut kepada masyarakat melalui diskusi di kampus, media sosial, atau forum mahasiswa. Selain itu, kita dapat bergabung dalam gerakan advokasi bersama organisasi lingkungan seperti JATAM dan Greenpeace Indonesia, atau mendukung upaya komunitas adat lokal yang berjuang untuk wilayah mereka. Tindakan kecil seperti merancang petisi, menulis artikel opini, dan mendesak transparansi dalam proses perizinan tambang dapat memberikan dampak signifikan jika dilakukan secara bersama-sama.
Dalam menangani permasalahan ini, pemerintah baik pusat maupun daerah seharusnya segera mengkaji ulang dan menghentikan aktivitas penambangan yang tidak sesuai dengan hukum serta berpotensi merusak ekosistem Raja Ampat. Kekayaan alam dan budaya di Papua perlu dilindungi, bukan diorbankan demi ambisi industri ekstraktif. Alternatif pembangunan seperti ekowisata, perikanan berkelanjutan, dan konservasi lebih cocok untuk dikembangkan di kawasan ini karena sesuai dengan karakteristik geografis dan sosial masyarakat setempat. Kita tidak boleh membiarkan "surga terakhir" ini hancur hanya demi keuntungan yang bersifat sementara.
Raja Ampat adalah karunia yang tak terhingga, sebuah "surga terakhir di dunia" yang patut kita lestarikan bersama. Mengizinkan keindahan alam dan warisan budayanya musnah demi keuntungan sementara adalah suatu pengkhianatan terhadap generasi yang akan datang. Saatnya kita, sebagai rakyat dan pemimpin, bersatu untuk melindungi harta ini dan menjamin bahwa pembangunan di Indonesia sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan.
Opini ini saya susun mengacu pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, UU No. 41 Tahun 1999, dan UU No. 5 Tahun 1990, serta didukung oleh informasi dari Greenpeace Indonesia, Mongabay, JATAM, dan BBC Indonesia yang telah membahas isu tambang nikel di Raja Ampat dalam laporan mereka.(*/red).
Penulis Opini
By; Arvandho Salam, Mahasiswa Universitas Pamulang
Tidak ada komentar
Posting Komentar